AUTISTIC DISORDER
A. Defenisi
Autisme
Autisme adalah gangguan perkembangan kompleks pada fungsi otak
yang disertai dengan defisit intelektual dan perilaku dalam rentang dan
keparahan yang luas. Autisme dimanifestasikan selama bayi dan awal masa
kanak-kanak terutama sejak usia 18 sampai 30 bulan. Autisme terjadi pada 1 :
2500 anak, sekitar empat kali lebih sering pada lelaki dibanding perempuan (meskipun
biasanya perempuan terkena lebih parah) dan tidak berhubungan dengan tingkat
sosioekonomi, ras atau gaya hidup orang tua. (Wong, Donna L 2008)
Gangguan autistik merupakan sindrom dari defisit perilaku dan
perseptual dengan etiologi yang tidak diketahui, kemungkinan ditemukan saat
lahir, yang secara simtomatologik ditemukan pada masa bayi atau masa
kanak-kanak yang sangat dini.
(Residen
bagian psikiatri UCLA 1997)
Autisme dianggap merupakan gangguan perkembangan pervasif
baik dilihat dari segi penelitian maupun segi klinis. Autisme mempengaruhi
kualitas-kualitas manusia penting, yakni interaksi antarpribadi dan komunikasi.
Anak-anak yang mengalami autisme memperlihatkan kerusakan berat pada interaksi
interpersonal dan komunikasi.
B. Etiologi
Teori dini dari gangguan fungsi keluarga yang menyebabkan
autisme tidak didukung oleh semua penelitian. Autisme merupakan suatu sindrom
yang dapat mempunyai sekumpulan penyebab. Data mendukung sejumlah kelainan,
termasuk genetik(saudara sekandung mempunyai peningkatan kemungkinan 50 kali
untuk mengalami autisme), biokimia(kelainan serotonin), kognitif(penyulit
prenatal dan perinatal yang lebih tinggi).
Etiologi autisme tidak diketahui. Akan tetapi, terdapat bukti
kuat yang menyokong penyebab biologis multipel. Individu penderita autisme
dapat memiliki elektroensefalogram abnormal, kejang epileptik, keterlambatan
perkembangan dominasi tangan, refleks primitif menetap, anormalitas metabolik
dan hipoplasia vermal serebelar (bagian tak yang terlibat dalam regulasi gerakan
dan beberapa aspek memori).
Terdapat juga bukti kuat berbasis genetik bahwa anak kembar
memiliki pola bawaan autosom resesif secara konsisten. Studi yang dilakukan
pada anak kembar menunjukkan sangat tingginya kondordans (sifat bawaan yang
terdapat pada dua orang saudara yang memiliki karakteristik sama) yaitu 96%
untuk kembar monozigot (identik) dan 24% kondordans untuk kembar dizigot (non
identik). Selain itu, antara 5% sampai 16% lelaki penderita autisme positif
memiliki kromosom X fragille.
Terdapat 3% sampai 8% risiko kejadian autisme pada keluarga
jika salah satu anak yang terkena. Meskipun gen transpor serotonin dianggap
sebagai kemungkinan faktor penyebab autisme, gen spesifik untuk gangguan ini
belum teridentifikasi.(Wong, Donna L 2008)
C. Psikodinamika
Penjelasan-penjelasan psikodinamik
awal tentang autisme berfokus pada peran dari kepribadian orang tua dan gaya
mereka dalam mengasuh anak-anak. Misalnya, dikemukakan bahwa orang tua dari
anak-anak autis adalah dingin, formal tanpa humor, terpisah, sangat
rasional, dan objektif. Diduga bahwa orang tua semacam itu tidak mengasuh dan
tidak memberikan anak-anak mereka
hubungan antarpribadi, juga diasumsikan bahwa anak itu kemudian menjauhi orang
tua yang “mekanik” ini dan berbalik kepada dirinya sendiri untuk mencari
kesenangan dan ransangan. Juga dikemukakan bahwa orang tua dari anak autis
tidak menanamkan kepercayaan terhadap diri anaknya dan perasaan kemampuan dalam
diri anak mereka karena mereka berusaha untuk menguasai anak atau menuntut
perfomansi anak yang sangat tinggi ( Bettelheim, 1967). Karena anak kurang
percaya terhadap dirinya sendiri, maka ia merasa tidak berdaya untuk mengontrol
nasibnya, dan karena sadar akan penolakan orang tuanya, maka ia tidak mau
bergaul dengan dunia luar melainkan mundur kedalam dunia privatnya sendiri.
Akan tetapi, pendekatan psikodinamik ini tidak diterima karena tidak didukung
oleh data penelitian dimana banyak penelitian telah menunjukkan bahwa orang tua
dari anak autis tidak berbeda dengan orang tua dari anak yang normal atau orang
tua dari anak yang kalut.
D. Patofisiologi
Setelah anak
lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa bertambah dan
berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini dipengaruhi secara
genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai brain growth factors
dan proses belajar anak. Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas.
Pembentukan akson, dendrit, dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari
lingkungan. Bagian otak yang digunakan dalam belajar menunjukkan pertambahan
akson, dendrit, dan sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak digunakan
menunjukkan kematian sel, berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps.
Kelainan
genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pada proses – proses tersebut. Sehingga akan
menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf.
Pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru lahir,
diketahui pertumbuhan abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya
neurotropin dan neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor,
neurotrophin-4, vasoactive intestinal peptide, calcitonin-related gene peptide)
yang merupakan zat kimia otak yang bertanggung jawab untuk mengatur penambahan
sel saraf, migrasi, diferensiasi, pertumbuhan, dan perkembangan jalinan sel
saraf. Brain growth factors ini penting bagi pertumbuhan otak.
Peningkatan
neurokimia otak secara abnormal menyebabkan pertumbuhan abnormal pada daerah
tertentu. Pada gangguan autistik terjadi kondisi growth without guidance, di
mana bagian-bagian otak tumbuh dan mati secara tak beraturan.
Pertumbuhan
abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel saraf lain. Hampir semua
peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel saraf tempat keluar hasil
pemprosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada autisme. Berkurangnya
sel Purkinye diduga merangsang pertumbuhan akson, glia (jaringan penunjang pada
sistem saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi pertumbuhan otak secara
abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara abnormal mematikan sel
Purkinye. Yang jelas, peningkatan brain derived neurotrophic factor dan
neurotrophin-4 menyebabkan kematian sel Purkinye.
Gangguan
pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila autisme
disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan gangguan primer yang
terjadi sejak awal masa kehamilan. Degenerasi sekunder terjadi bila sel
Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi gangguan yang menyebabkan kerusakan
sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam masa kehamilan ibu minum alkohol
berlebihan atau obat seperti thalidomide.
Penelitian
dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal mengalami aktivasi selama
melakukan gerakan motorik, belajar sensori-motor, atensi, proses mengingat,
serta kegiatan bahasa. Gangguan pada otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih
lambat, kesulitan memproses persepsi atau membedakan target, overselektivitas,
dan kegagalan mengeksplorasi lingkungan.
Pembesaran
otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian depan yang dikenal
sebagai lobus frontalis. Kemper dan Bauman menemukan berkurangnya ukuran sel
neuron di hipokampus (bagian depan otak besar yang berperan dalam fungsi luhur
dan proses memori) dan amigdala (bagian samping depan otak besar yang berperan
dalam proses memori).
Faktor
lingkungan yang menentukan perkembangan otak antara lain kecukupan oksigen,
protein, energi, serta zat gizi mikro seperti zat besi, seng, yodium, hormon
tiroid, asam lemak esensial, serta asam folat.
Adapun hal yang merusak atau mengganggu perkembangan
otak antara lain alkohol, keracunan timah hitam, aluminium serta metilmerkuri,
infeksi yang diderita ibu pada masa kehamilan, radiasi, serta ko kain.
Awitan adalah dini selama masa bayi atau sebelum berumur 36 bulan,
jarang setelah berumur 5 atau 6 tahun. Faktor prognostik yang baik termasuk IQ
yang lebih tinggi dan gangguan bahasa dan sosial yang lebih ringan. Sebagian
besar orang dewasa autistik mengalami cacat berat. Dari yang sebagian kecil
satu dari enam orang independen, sebagian besar mempertahankan suatu afek yang
dangkal, keterampilan antarpribadi yang buruk, minat yang sempit dan tak biasa,
dan tidak adanya kesadaran nyata akan perasaan dan respons sosial orang lain.
Beberapa dapat mengalami kejang sebelum mencapai kedewasaan, sebagian besar
pada remaja dini.
E. Gambaran
klinis
1. Indiferensi
sosial.
Tidak adanya respon wajah atau kontak
mata dengan orang baru dalam lapangan penglihatan anak, tidak adanya senyum
sosial dan respon antisipatoar saat dikenali, dan tidak adanya kecemasan asing.
Terdapat kecendrungan untuk menghindari kontak fisik dan permainan kerjasama.
2. Respon
abnormal terhadap asupan sensorik
Kemungkinan tidak terdapat respons
terhadap suara keras, menakutkan, respon yang meninggi terhadap suara lain dan
suatu daya tarik kuat yang nyata terhadap tekstur, bau, atau cahaya tertentu.
Sering terdapat keingintahuan yang kuat akan perincian permukaan halus dari
benda dan ransangan yang ditimbulkan sendiri, seperti menggosok-gosok kain,
memilah tanah melalui tangan, atau menjentik telinga.
3. Gangguan
komunikasi
Dapat ditemukan ekolalia, lansung
atau tertunda (tertunda bahkan hingga hari berikutnya, bicara aprosodik (bicara
tanpa tonus emosional yang dialirkan dalam ritme, perubahan nada suara, dan
nada), dan reversi kata ganti(contohnya, “ anda” untuk “saya”)
4. Kekhasan
aktivitas
Terdapat stereotipe motorik atau
manerisme, seperti menggerakkan tangan secara ritmik dalam lapangan penglihatan
dekat, mengelepak tangan, dan berjalan pada jari kaki, keasyikan memintal(baik
benda dan dirinya), dan bergaya
5. Kemajuan
perkembangan tak sama
Sering terdapat diagnosis retardasi
mental penyerta. Namun sering, ditemukan perkembangan mental yang cepat dan
dataran tinggi yang panjang, dan seringkali, terdapat daerah kemajuan perkembangan
besar yang berbatas jelas.
6.
Pola Bermain yang tidak efektif
Tidak bermain seperti anak – anak
pada umumnya. Tidak suka bermain dengan anak – anak sebayanya. Tidak kreatif,
tidak imajinatif. Tidak bermain sesuai fungsi mainan misalnya sepeda dibalik
lalu rodanya diputar – putar. Senang akan benda – benda yang berputar, seperti
kipas angin, roda sepeda. Dapat sangat lekat dengan benda – benda tertentu yang
dipegang terus dan dibawa kemana – mana.
7.
Perilaku yang tidak efektif
Dapat berperilaku berlebihan
(hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif). Memperlihatkan prilaku stimulasi diri
seperti bergoyang – goyang, mengepakan tangan seperti burung, berputar – putar,
mendekatkan mata ke pesawat TV, lari/ berjalan bolak balik, melakukan gerakan
berulang – ulang. Tidak suka pada perubahan. Dapat pula duduk bengong dengan
tatapan kosong.
8. Emosi yang labil
Sering marah – marah tanpa alasan
yang jelas, tertawa – tawa, menangis tanpa alasan. Temper tantrum (mengamuk tak
terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya. Kadang suka
menyerang dan merusak. Kadang – kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya
sendiri. Tidak mempunyai empati dan
tidak mengerti perasaan orang lain.
F. Prognosis
Autisme biasanya merupakan kondisi ketidakmampuan yang berat.
Tetapi ada laporan bahwa anak-anak mengalami kemajuan dalam penguasaan keterampilan
bahasa dan komunikasi dengan orang lain. Beberapa anak pada akhirnya dapat
mencapai kemandirian , tetapi sebagian besar anak memerlukan pengawasan seumur
hidup dari orang dewasa. Perburukan gejala psikiatrik terjadi pada sekitar
setengah anak selama masa remaja, dengan anak perempuan memiliki kecendrungan
mengalami perburukan terus-menerus.
Pengenalan perilaku sehubungan dengan autisme sejak dini
sangat kritis agar dapat menerapkan intervensi dan keterlibatan keluarga yang
tepat. Prognosis paling baik terdapat pada anak-anak yang telah memiliki
perkembangan bicara komunikatif pada usia 6 tahun dan IQ diatas 50 pada saat
diagnosa ditegakkan.
G. Pertimbangan
perawatan
Intervensi terapeutik untuk anak penderita autisme merupakan
wilayah khusus yang melibatkan profesional terlatih. Meskipun tidak ada penyembuhan
untuk autisme, berbagai terapi telah digunakan. Hasil yang paling menjanjikan
adalah melalui program modifikasi perilaku yang dilakukan secara intensif da
terstruktur. Secara umum, tujuan penanganan adalah meningkatkan penguatan
positif, meningkatkan kesadaran sosial terhadap orang lain, mengajari
keterampilan komunikasi verbal, dan mengurangi perilaku yang tidak dapat diterima.
Memberikan rutinitas terstruktur untuk diikuti anak merupakan kunci dalam
penatalaksanaan autisme.
Apabila anak ini dirawat di rumah sakit, orang tua sangat
penting merencanakan asuhan dan idealnya harus tinggal bersama anak sesering
mungkin. Perawat harus memahami bahwa tidak semua anak penderita autisme
samadan bahwa mereka akan memerlukan pengkajian dan penatalaksanaan individual.
Mengurangi stimulasi dengan menggunakan ruang pribadi, menghindari distraksi
suara dan visual yang berlebihan, dan mendorong orang tua untuk membawakan
barang-barang yang sangat enting bagi anak dapat mengurangi gangguan akibat
rawat inap. Karena kontak fisik sering menjengkelkan anak ini maka menggendong
dan kontak mata perlu dibatasi untuk menghindari ledakan perilaku . harus
hati-hati saat melakukan prosedur, memberi obat, atau memberi makan anak,
karena mereka susah makan sampai kelaparan sendiri atau melakukan muntah untuk
menghindari makan atau mengulum makanan,
menelan semua benda yang bisa atau tidak bisa dimakan, seperti termometer.
Mereka perlu diperkenalkan kepada situasi baru secara
perlahan, kunjungan pemberi asuhan dibuat singkat jika mungkin. Karena anak ini
mengalami kesulitan mengatur perilaku dan mengarahkan kembali energi mereka,
maka segala sesuatu yang harus dikerjakan mereka perlu diperintah secara
lansung. Komunikasi harus sesuai dengan tigkat perkembangan anak, singkat dan
konkret. Hanya satu permintaan diberikan ada satu kesempatan, seperti” duduk di
tempat tidur”.
Dukungan
orang tua
Orang
tua memerlukan ahli untuk konsultasi
dini dalam riwayat penyakit anknya. Ketika anak mendekat masa dewasa dan orang
tua menjadi semakin tua, keluarga mungkin memerlukan bantuan untuk mencari fasilitas
penempatan jangka panjang.
H. Pengobatan
dan terapi
Dalam
hal ini termasuk dukungan keluarga, penempatan pendidikan yang sesuai, dan
penatalaksanaan perilaku. Penelitian mendukung praktek klinis farmakoterapi
untuk perilaku sasaran tertentu( khsusnya haloperidol, tetapi kurang mendukung
untuk fenfluramin).
Keberhasilan terapi dipengaruhi oleh beberapa faktor
(Budiman, 1998) yaitu :
1. berat ringannya gejala/berat ringannya kelainan otak.
2. usia, diagnosis dini sangat penting, karena semakin muda umur anak saat
dimulainya terapi, semakin besar kemungkinan untuk berhasil.
3. kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya
4. bicara dan bahasa. 20 % penyandang autis tidak mampu berbicara seumur
hidup, sedangkan sisanya mempunyai kemampuan berbicara dengan kefasihan yang
berbeda-beda. Mereka dengan kemampuan bicara yang baik mempunyai prognosis yang
lebih baik.
5. terapi yang intensif dan terpadu.
Penderita autis biasanya dirawat dan disekolahkan dalam sekolah khusus anak
autisme. Meskipun anak autis tidak bisa disembuhkan secara sempurna namur anak
tsb dapat dilatih agar mampu hidup mandiri. Pendidikan yang diberikan pada
sekolah khusus tsb umumnya menekankan pada pemberian stimulasi melalui terapi-terapi (psikoterapi), sehingga anak
dapat mengadakan kontak social dan mengurangi atau menghilangkan perilaku yang
abnormal. Misalnya, dengan teori penguatan prilaku yaitu memberikan sesuatu
yang disukai anak (buku puzzle) dengan syarat dia mau bergabung kembali dengan
kelasnya, ataupun guru jira di sekolah yang mengingatkan anak untuk menatap
matanya.
Keluarga juga sangat berperan dalam melakukan terapi
perilaku. Kesabaran dan ketekunan orang tua untuk berusaha menerima dan memberi
stimulus dengan kata-kata, ataupun dengan memberikan kasih sayang spt memeluk
anak sampai tertidur. Beberapa terapi yang bisa dilakukan dengan anak autis,
diantaranya :
1. Terapi Edukasi
Dengan memberikan pendidikan kognitif secara sederhana
dan praktis spt membaca, menulis/mengenalkan benda tertentu, anak diberi
kumpulan kartu yang berisi gambar dan nama-nama orang disekitarnya serta
hal-hal yang perlu diperhatikan, misalnya gambar oven, dengan tulisan hati-hati
ini panas, atau jangan bicara pada orang asing.
2. Terapi Okupasi (Gerak motorik otot-otot)
Dengan melatih gerakan motorik otot-ototnya, misalnya
dengan melepaskan baju, atau menaruh tas, misal melatih anak membuat minuman
sendiri, yaitu membuka bungkus minuman, lalu mengaduknya, walaupun anak belum
bisa mengambil sendiri jenis minuman tsb.
3. Terapi Bicara
Yaitu pemberian stimulus tertentu yang mendorong anak untuk bicara. Contohnya tiap kali pulang
dan masuk rumah selalu berkata, ”Mami, saya sudah pulang”, tidak peduli
ada/tidak ibunya ditempat itu.
4.
Terapi Obat-obatan
Dengan memberikan obat yang menurunkan hiperaktifitas,
sterotipik, menarik diri, kegelisahan, dan afek yang labil. Contohnya obat
penenang (sesuai dosis).
5. Terapi Makanan
Dengan memberikan gizi yang cukup pada
makanannya agar perkembangan sel tubuh tidak terganggu.
6. Fisioterapi
Pada anak autisme juga diberikan
fisioterapi yang berfungsi untuk merangsang perkembangan motorik dan kontrol
tubuh.
7. Alternatif Terapi lainnya
Selain itu ada beberapa terapi lainnya
yang menjadi alternatif penanganan penyandang autis menurut pengalaman
(Sleeuwen, 1996), yaitu :

Meliputi aktivitas menyanyi, manri
mengikuti irama dan memainkan alat musik. Musik dapat sangat bermanfaat sebagai
media mengekspresikan diri, termasuk pada penyandang autis.

Program ini berdasarkan pada sikap
menerima dan mencintai tanpa syarat pada anak-anak autis. Diciptakan oleh
orangtua pada anaknya didiagnosa menderita autisme tapi karena program latihan
dan stimulasi yang intensif dari orangtua anak dapat berkembang tanpa tampak
adanya tanda-tanda autistik.

Meskipun sebenarnya bukan bentuk terapi,
tapi program ini merupakan metode penyediaan dukungan fisik kepada individu
dalam mengeskpresikan pikiran/ ide-idenya melalui papan alfabet, papan gambar,
mesin ketik/komputer.

Penyandang autis mengalami kemajuan yang
berarti setelah mengkonsumsi vitamin tertentu spt B6 dalam dosis tinggi yang
dikombinasikan dengan Mg, mineral dan vitamin lainnya.

Autisme memang tidak dapat disembuhkan
secara total, namun demikian diharapkan semakin dini dalam penanganan penderita
autisme semakin besar kesempatannya untuk dapat berprilaku normal, mandiri, dan
mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya.
Orang
tua perlu menyesuaikan diri dengan anaknya. Masalah perilaku yang besar seperti
keadaan bising, gelisah atau melukai diri sendiri sebagian besar dapat diatasi
dengan obat-obatan, seperti klorpomazin atau tioridazin. Keadan tidak dapat
tidur dapat memberikan respon dengan
sedativa, seperti kloralhidrat, dan konvulsi perlu dikendalikan dengan
antikonvulsant. Hiperkinesis merupakan masalah, dan jika keadaan ini menetap
dan berat, maka dapat dicobakan diit yang bebas aditif (pengawet).
Latihan
dan pendidikan penting sekali dan digunakan berbagai metode, misalnya,
penggunaan ”operant conditioning”,
dimana digunakan dukungan positif (hadiah) dan dukungan negatif (hukuman).
Tujuan umum adalah untuk menggunakan metode yang paling cocok untuk anak dalam
membantunya mengatasi cacatnya, untuk mengembangkan keterampilan sosial dan mendorong
keterampilan praktis. Kesabaran merupakan atribut essensial, karena kemajuan
umumnya sangat lambat.
Apapun
pendekatan yang diambil, penting untuk melibatkan semua yang terlibat secara
langsung dalam perawatan anak. Hal ini termasuk orang tua, perawat atau staf
residen lainnya. Bagi orang tua sangat penting agar mereka merasa bahwa mereka
ambil bagian dalam terapi anaknya. Juga penting bagi orang tua sadar akan
kelompok untuk menolong diri sendiri seperti Scottish Society for Autistic Children dan National Society for Autistic Children, dimana mereka dapat
memperoleh bantuan, dan disadarkan akan rentang pelayanan yang ada untuk anak
autisme.
Terapi penyembuhan yang diterapkan dilakukan dengan
berbagai varian tehnik, diantaranya tehnik belajar dan bermain yang dapat
dilakukan secara vebal maupun non verbal, dengan melibatkan orang tua dan ada
juga yang tidak.
I. Diagnosa
keperawatan :
1. Kerusakan interaksi sosial
2. Kerusakan komunikasi verbal
3. Gangguan identitas diri
DAFTAR PUSTAKA
Residen bagian psikiatri UCLA.1997. Buku saku psikiatri. Jakarta : EGC
Semiun, Yustinus.2006.Kesehatan Mental 2. Jogjakarta : Kanisius
Wong, Donna L.2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar